Pusaka Keris Patrem
Dalam buku Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo, istilah Keris Patrem sering dianggap sebagai keris khusus wanita dengan panjang hanya sejengkal. Bilahnya nglimpa dengan ricikan sedikit.Gandiknya polos, kadang memakai tikel alis dan sebuah tingil. Secara umum Keris Patrem berukuran kecil dan pendek sehingga diduga pembuatannya khusus untuk para wanita.
Adapun jenis Keris Patrem lain yang umum dikenal masyarakat adalah Keris Sajen (yang diyakini berasal dari era Majapahit), Keris Cundrik, dan Keris Sombro (keris buatan Nyi Mbok Sombro dariPajajaran). Namun ketiga keris ini diyakini memiliki peruntukan yang berbeda dengan Keris kecil Patrem. Kami lebih yakin bahwa ketiga jenis keris di atas tidak termasuk dalam golongan Keris Patrem. Keris Sajen dan Cundrik digunakan sebagai salah satu kelengkapan sesaji pada upacara keagamaan (upacara bersih desa) di masa lalu yang kemudian dilarungkan ke sungai atau laut. Jelaskeris Sajen ini bukan digunakan sebagai sipat kandhel bagi masyarakat Jawa. Untuk keris Sombro, mungkin inilah yang paling jelas dimaksud sebagai keris untuk wanita. Tidak lain karena bentuknya dan dari segi kegunaan yang tidak praktis untuk aktifitas sehari-hari.
Keris Patrem yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri umum yakni mirip dengan keris aslinya (duplikat/putran) hanya saja berukuran lebih kecil. Kebanyakan dibuat dengan pamor mlumah tiban, kadang memakai ganja iras (ganja menyatu dengan bilah keris). Tepian bilah umumnya tidak tajam, atau memang sengaja dibuat demikian. Motif pamor tiban tidak direncanakan dahulu oleh Empu pembuatnya sehingga jarang ditemukan yang memiliki pamor menarik. Garapannya sebagaian besar tidak halus dan rapi (kasar) sehingga diyakini seringkali dibuat dalam jumlah besar (massal) untuk golongan tertentu.
Menilik Keris Patrem yang hingga kini diyakini sebagai keris khusus wanita, pengasuh memiliki pendapat atau argumen yang berbeda. Kami meyakini bahwa sesungguhnya Keris Patrem atau Keris Kecil ini adalah keris yang khusus digunakan oleh anak-anak. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah keris “Yingyai Sheng-Lan” yang ditulis seorang penjelajah Cina bernama Ma Huan.
“…As to the dress [worn by] the people of the country: the men have unkempt heads; [and] the women pin up the hair in a chignon. They wear a garment on the upper part of the body, and a kerchief around the lower part. The men thrust a pu-la-t’ou into the waist; from little boys of three years to old men of a hundred years, they all have these knives, which are all made of steel, with most intricate patterns drawn in very delicate lines; for the handles they use gold or rhinoceros’ horn or elephants’ teeth, engraved with representations of human forms or devils’ faces, the crafts-manship being very fine and skilful…”
Ma Huan bersama rombongan Laksamana Cheng-Ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming di tahun 1461 M menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai belati lurus atau berkelok-kelok sejak masih anak-anak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Jelas yang dimaksud belati di sini adalah keris.
Memperhatikan catatan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak mungkin seorang anak berusia 3 tahun mengenakan keris dengan panjang lebih dari 30cm laiknya keris-keris normal buatan Majapahit. Besar kemungkinan anak-anak akan memakai keris patrem atau keris kecil yang memang diperuntukkan untuk mereka. Ukurannya akan pas untuk dibawa-bawa atau digunakan saat upacara khusus. Dengan ujung dan tepian yang tumpul diharapkan para anak-anak tidak terluka oleh keris tersebut.
Namun mengingat bahwa Keris kecil Patrem juga dibuat oleh Empu dengan bahan-bahan pembuatan keris biasa, rasanya tidak mungkin semua anak dapat atau bisa memiliki keris Patrem yang istimewa. Keris Patrem dengan ricikan mewah atau yang dihias kinatah kemungkinan dimiliki oleh anak-anak bangsawan atau saudagar kaya. Lainnya mengenakan keris kecil yang dibuat secara massal sehingga bentuknya lebih sederhana.
Lalu timbul pertanyaan, untuk apa anak-anak diberikan Keris Patrem atau Keris Kecil ini? Apakah tidak justru membahayakan mereka? Dari sisi ini kita bisa melihat hakikat keris itu sendiri. Masyarakat Jawa menggunakan keris sebagai piyandel atau sipat kandhel, sebagai satu filosofi hidup. Kemungkinan inilah yang coba diajarkan para orang tua mereka kepada anak-anaknya. Mengajarkanpiwulang Jawi dan filosofi hidup melalui sebilah keris agar sang anak kelak dapat mencintai budayanya dan berpegang teguh kepada filosofi hidup (keris) itu sendiri.
Jika Keris Patrem Kecil adalah keris yang diperuntukkan untuk anak-anak, lalu apa yang digunakan oleh para wanita zaman dahulu? Dari beberapa informasi yang penulis dapatkan, zaman dahulu para wanita sebenarnya tidak memiliki keris yang dibuat khusus untuk mereka. Para wanita di masa itu (bahkan diyakini hingga sekarang) menggunakan Tosan Aji lain semisal wedung (Jawa: Wedhung) namun tidak (atau jarang) digunakan untuk membela diri. Lebih kepada sipat kandel itu tadi ataupun untuk digunakan dalam aktifitas sehari-hari. Namun adanya keris buatan Nyai Mbok Sombro yang besar kemungkinan dibuat khusus untuk kaum wanita, membuatnya perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai hal ini.
Tulisan ini hanyalah sebuah argumen atau pendapat belaka yang disertai dengan beberapa sumber-sumber terpercaya. Penulis yakin masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam tulisan ini. Tentu masih dibutuhkan banyak penelitian mendalam dan informasi lebih dari sumber-sumber yang konkrit dan jelas. Sehingga masukan, saran, atau kritik dari anda pencinta Tosan Aji akan sangat kami nantikan.
-------
Sumber: Gramedia. Harsrinuksmo, Bambang. Ensiklopedi Keris.Cambridge At The University Press, 1970. Ma Huan “Ying-Yai Sheng-Lan” – The Overall Survey of The Ocean’s Shores (1433). Translated from the Chinese text edited by Feng Ch-eng-Chun with introduction, notes, and appendices by J. V. G. Mills.
-------
0 komentar:
Posting Komentar